Jumat, 12 Oktober 2018

SEJARAH BHINNEKA TUNGGAL IKA

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh burung Garuda dan pemakaiannya diresmikan sebagai Lambang Negara Indonesia pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada tanggal 11 Februari 1950.

Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat tersebut merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu : Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga keanekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majapahit.

Bila diterjemahkan secara per kata, Bhinneka Tunggal Ika adalah : 
  • Bhinneka artinya beraneka ragam atau berbeda-beda menjadi pembentuk kata “aneka”
  • Tunggal artinya satu
  • Ika artinya itu 
Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kutipan ini berasal dari Pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini: 

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan :

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Zaman Kerajaan Majapahit

Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV di masa Kerajaan Majapahit. Secara harfiah mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) yaitu beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan agar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal (satu).

Bhinnêka Tunggal Ika Tanhana Dharmma Mangrva dilontarkan pada masa Majapahit. Sesungguhnya Bhineka Tunggal Ika telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya. Oleh karena itulah Nararyya Wisnuwarddhana didharmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Kertanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA (Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra).

Inilah fakta bahwa Singasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan tak lain merupakan kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Kertanagara : Raja Singasari terakhir).

Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng Ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan Bhinneka Tunggal Ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal.

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharmma Mangrva oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu, telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, dimana telah menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika yang akhirnya diangkat menjadi semboyan yang diabadikan dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Garuda Pancasila.

Zaman kemerdekaan

Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara.

Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.

Dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pengertian Garuda Pancasila diperluas menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Memberi makna secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan satu Negara Republik Indonesia.

Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober dan diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara.

Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majahapahit maupun pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam tegaknya negara Indonesia.

Sementara semboyan “Tanhana Dharmma Mangrva” digunakan sebagai semboyan Lambang Pertahanan Nasional (LemHamNas). Makna kalimat tersebut adalah “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”.

Kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Sebagai bahan catatan, bahwa realitas kemajemukan bangsa adalah warisan sejarah panjang perjalanan Indonesia selama berabad-abad sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan luas wilayah Nusantara yang hampir 2 juta kilometer persegi, terdiri dari sekitar 13.700 pulau besar dan kecil, lebih dari 300 ragam etnis, dengan adat istiadat, budaya dan keyakinan agama yang berbeda-beda, menyimpan potensi keretakan yang kapan saja bisa mengemuka apabila tidak ada alasan atau raison de’etre sebagai bangsa untuk bersatu.

Bahwa raison de’etre untuk menjadi satu bangsa, bukan sekedar perasaan subjektif para pendiri bangsa menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan mendapatkan pijakan sejarah selama berabad-abad seperti yang telah dibuktikan.

Dan kesadaran sebagai putra-putri dari sebuah bangsa besar yang telah melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kiranya menjadi tugas sejarah untuk terus memperjuangkan, menjaga dan mewujudkan kesatuan bangsa Indonesia dan menjadi obor penyuluh, ketika sebagian anak-anak bangsa mulai dijangkiti penyakit sektarian sempit, fanatisme agama dan egoisme kelompok serta golongan yang hanya akan mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SINONIM

Dalam tes verbal ini kemampuan dan kecakapan berbahasa baik penguasaan perbendaharaan kata, tata bahasa, maupun kemampuan memahami teks d...